Mengajar di sekolah swasta artinya harus bersiap mendapati
sejumlah kenyataan yang tidak sesuai harapan, gagal ngopi-cantik di sore hari dengan rasa tenang misalnya. Bagi
sebagian orang (termasuk saya) yang menjadikan aktivitas ngopi atau ngeteh
tidak sekedar usaha untuk menghilangkan rasa haus dan dahaga saja, namun
keberadaannya teramat sakral nomer dua setelah menyanyikan lagu Indonesia-Raya,
seakan dirusak oleh obrolan tentang pekerjaan yang mau tidak mau harus ikut
dibawa pulang.
Bagaimana bisa tenang, bagaimana bisa ngobrol santai kalau
jeritan-jeritan Fatur selama di sekolah seperti di lem Alteko, terus
terngiang-ngiang dikepala.
‘Oh ya, bagi para pembaca sekalian di luar civitas SMP
Muhammadiyah 4 Yogyakarta pasti belum tau siapa ini Fatur. Baiklah sebagai
gambaran akan sedikit saya perkenalkan, Fatur adalah salah satu murid kelas 7, lulusan SD Sapen, berperawakan kecil dan
sedikit gempal. Sayangnya walaupun saya S1-Bimbingan Konseling, nilai mata
kuliah Psilokogi Anak yang pernah saya tempuh hanya mendapatkan nilai-C, jadi
tidak cukup integritas yang saya miliki untuk memberikan penilaian dan
melabelinya dengan tepat secara keilmuan, hanya secara umum dapat saya
identifikasi bahwa anak ini mengalami keterlambatan perkembangan. Sikap dan
mental anak ini lebih cocok duduk manis di sekitaran anak usia SD kelas 2 atau
3.
Khususon di paragraf ke-empat ini adalah bagian dimana saat saya
masih bertanya-tanya, entah bagaimana ceritanya Fatur yang aseli mBantul ini
bisa nyasar sampai di Mupat
(panggilan sayang sekolah kami/ a.k.a Muhammadiyah empat), apa tidak capek ibunya
ngalor ngidul seperti setrikaan, setiap hari serasa touring untuk antar jemput Fatur.
Karena jarak rumah cukup jauh ini juga yang membuat saya kadang tidak tega
ketika hendak memarahi dan menghukumnya karena datang terlambat sekolah. Toh kemudian
saya sadari, setelah nggedebus sampai berbusa dikeluarkan semua nasehat super
tentang kedisiplinan, hati saya hancur gara-gara dengan santai dia bertanya
“berapa menit lagi pak hormatnya?!!” Asem tenan, jebul ora mudheng, ora masuk. Yah
tidak salah lagi, anak ini memang perlu penanganan spesial.
Bagi saya pribadi, keberadaan Fatur sejatinya menumbuhkan semangat
baru. Apabila benar-benar mau ber-istikomah dan mau dengan tlaten ngrumat Fatur, sepertinya akan ada secercah harapan
celana-celana favorit saya dulu bisa dipakai lagi. Kalau boleh sedikit curcol,
semenjak menikah memang berat badan saya terus naik, hingga banyak pakaian
tidak muat dan hanya menganggur tertata rapih dalam lemari. Anggapan populer
yang berkata bahwa “stres marai kuru”
semoga benar adanya, kan lumayan sambil menyelam minum kopi, setres ngopeni Fatur walhasil perut sixpek
kembali. Hihihi ojo diseriusi.
Semenjak kedatangannya, Mupat menjadi semakin meriah. Dalam
satu hari saja, minim 2 kali Fatur teriak keras-keras. Bisa dalam usaha membela
diri ataupun untuk meminta pertolongan. Biasanya karena terlibat keributan
dengan orang-orang sekelilingnya, namun setelah mencoba melawan ternyata baru
dia sadari bahwa sebenarnya sejak awal dia sudah kalah telak. Dengan cara
demikian, teriak sekencang-kencangnya, dia berharap agar bapak ibu guru yang kemudian
datang menolongnya, percaya bahwa seorang anak dengan tubuh lebih kecil dan
merengek-rengek sambil menangis, pasti dia sedang berada dalam keadaan yang di-dzolimi.
Padahal menurut laporan yang dapat dipercaya, justru fakta dilapangan sering berkata
sebaliknya. Kadang Fatur inilah yang lebih hobi mulai gawe goro-goro. Pernah sekali saya lihat dengan mata kepala
sendiri, tanpa rasa takut dan bersalah Fatur dengan lantang memanggil salah
seorang kakak kelas -yang menjadi musuh bebuyutannya- dengan cara menyebut nama
ayahnya. Disini kadang saya merasa syedih.
Memang agak susah untuk menjelaskan bagaimana perasaan saya
dan bapak ibu guru yang lain bahwasannya Fatur ini memang memiliki tingkat
kesulitan tersendiri. Namun agar lebih simpel, saya coba jelaskan dengan cara matematika,
rumusnya; X = Y. X adalah 100 siswa, dan Y ialah Fatur. Artinya perhatian yang
seharusnya dibagi untuk 100 siswa, oleh Fatur di-pekdewe.
Membicarakan seorang Fatur memang tidak ada habisnya. Namun diujung
lamunan, saya selalu teringat akan pesan Ibu Nafi (Guru BK), beliau mengatakan
“Semisal orang tuanya ditawarin, pasti juga tidak mau. Tapi tidak ada satupun
orang tua yang diijinkan memilih, begitupun sebaliknya, seorang anak tidak bisa
memilih orang tua mana yang akan melahirkannya.” Teringat nasehat beliau
tersebut, Duarrr!! seakan ditembak tepat ditengah kepala. Kalau mata-hati dapat
diperiksa entah sudah minus berapa. Mungkin
nyaris buta. Hingga lalai dan luput, tidak
bisa membaca dan memahami bahasa
guru semesta dalam rangka memberikan pelajaran tentang rukun iman yang ke-enam.
Salah satu pemahaman dasar yang acap kali kita lupakan, adalah
bahwa Allah telah memberi ketetapan atas segala sesuatu terhadap semua makhluk-Nya
dalam kadar dan bentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya, manusia diciptakan
oleh Allah dalam keadaan yang berbeda satu sama lain. Laki-laki atau perempuan,
berkulit putih dan hitam, ada yang pintar dan tidak. Pertanyaan-pertanyaan
mengapa yang ini begini yang itu kok begitu, itu semua merupakan rahasia-Nya. Nikmati
saja Iman kepada qada’ dan qadar
ini dengan cara memaknai seperti menonton film dengan naskah paling seru dan
terbaik.
Keberadaan Fatur dengan segala ceritanya di sekolah, anggap
saja sebagai Hadiah dari Allah SWT
yang sengaja membantu agar kita paham, bahwasannya Qada’ dan Qadar ini akan
hadir dalam wujud yang tidak terduga. Wujud dan rupa yang asik layaknya sedang ngopi, yang apabila tidak tau caranya menikmatinya, rasanya pahit.
” …Boleh jadi
kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.” [Al-Baqarah/2 : 216]
Komentar
Posting Komentar