Belajar kepada Matematika


Sebagai ilmu pengetahuan seperti yang kita kenal kini, matematika terdiri dari pencacahan, perhitungan, dan pengukuran. Ia berdomain pada sekitar studi besaran, struktur, serta ruang. Dengan begitu banyaknya barang bawaan yang dibawanya, matematika semakin populer dan menjelma menjadi salah satu pelajaran yang paling menakutkan. Sebab materi-materi pengkajian yang mendalam sekaligus sistematis terhadap bangun, pergerakan benda-benda fisika, serta perubahan melalui penggunaan penalaran logika dan abstraksi, ternyata cukup membuat para pelajar pecas ndahe.

Gara-gara matematika pula, di dunia yang fana ini menjadikan manusia seakan terbelah dan terbagi menjadi dua. Mereka yang membenci dan mereka yang mencintai, matematika.

Kelompok pertama adalah mereka, yang sampai detik ini masih tidak habis fikir mengapa matematika termasuk dalam rumpun mata pelajaran yang ikut diujikan sebagai salah satu syarat tanda kelulusan. Seakan materi tentang Integral, Defriansial, dan Trigonometri akan ditanyakan kelak saat melamar kerja di Indomart,  atau betapa menjengkelnnya mengerjakan soal-soal barisan dan deret bilangan akan ditanyakan kembali ketika hendak mempersunting seorang gadis menjadi istri. Kelompok pertama ini adalah tipikal pragmatis, yang bersikap primitif kekeuh menjaga anggapan bahwa matematika ini cukup sebagai kemampuan hitung-hitungan guna membayar jajan mie ayam atau tatkala menghitung masih sisa berapa kali kridit cicilan motor akan terlunasi. 

Kemudian kepada teman-teman semua yang mungkin masih sendiri, masak-masak sendiri, cuci baju sendiri, tidurpun sendiri. Alias jomblo. Sudahilah sedihmu, buanglah segala duka. Simaklah baik-baik. Semoga info penting ini, dapat memberikanmu sedikit nafas lega. Lihatlah matematika, walau banyak orang memandang ngeri bahkan tak sedikit menghindari, ketahuilah bahwa matematika selalu berhasil menemukan penggemarnya, selalu menemukan jodohnya. Merekalah ahli matematika, para penghuni kelompok kedua, yang menyanding matematika penuh peluk mesra. Mereka membangun istana-istana, membangun bahtera, membangun mahligai dunia berdasar kecintaan terhadap angka-angka. 

Bagi orang-orang dikelompok pertama, cerita kehidupan mereka (kelompok ke-dua) begitu heroik dan layak menjadi legenda, sebelas-duabelas dengan kisah keberhasilan Muhammad Al-Fatih saat menaklukkan Konstantinopel. 

Perbedaan atau jarak antara kedua kubu begitu menganga, membuat kita tiba pada ambruknya pemahaman yang kemudian menganggap bahwa keberhasilan suatu sistem pendidikan, puncaknya adalah ketika seorang anak berhasil mendapatkan nilai (termasuk matematika) diatas rata-rata. Oleh karena anggapan itu pula, tak heran apabila kini kontes dan olimpiade matematika tak pernah sepi pendaftar, antriannya mengular keluar pagar, kehadirannya semakin bersemi layaknya jamur dimusim penghujan. Yang dari adanya pelbagai ajang tersebut, diharapkan secara instan bermunculan juara-juara baru, datangnya sang primadona, lahirlah anak-anak idaman, sosok yang diharapkan mampu mengangkat derajat keluarga, hingga nanti pada saatnya tiba seperti perhiasan mewah yang siap dipamerkan kepada tetangga. 

Tak dapat dipungkiri, atas tingginya standar kemuliaan tersebut kemudian membuat para orang tua kini dengan bangga berbondong-bondong memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar ternama, atau bagi orang tua yang tak ingin kalah pamor sekaligus menjaga eksklusifitas, ada opsi kedua, silahkan sediakan uang minimal lima puluh ribu rupiah, maka hadirlah seorang guru privat yang datang kerumah dengan penuh sumringah. 

Memang tak ada yang berhak menyalahkan pilihan tersebut, hanya saja yang patut kita risaukan, seakan-akan dengan begitu semuanya beres, semua aman, ayem, dan seolah-olah telah merintis seorang calon petarung, seseorang dengan kepribadian yang matang dan telah siap mengarungi kerasnya dunia berbekal prestasi menundukkan pelajaran matematika. Padahal perjalanan panjang kehidupan seorang manusia akan banyak diwarnai dengan kisah yang mengharu-biru tentang kegagalan-kegagalan meraih obsesi, frustasi ditinggal pergi kekasih hati, sakitnya ditikam dari belakang, dan lain sebagainya. Yang kesemua masalah itu tentu saja tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan rumus pitagoras. 

Jangan sampai seorang anak melulu berpandangan dan memposisikan matematika hanya sebatas mata pelajaran di sekolah belaka, sedini mungkin perlu ditanamkan agar benar-benar mereka sadari bahwa masalah terbesar kelak bukan hanya sekedar PR matematika. 
Karena akan tiba suatu masa baginya, hari-hari yang merana, hari-hari yang tragis, hari-hari yang diliputi penuh kekesalan amerga ngrasakke omongane tonggo.

Maka untuk mengarungi hidup yang penuh tanda tanya, agar terhindar dari problematika yang disebabkan oleh kurang luwesnya kita menghadapi dan menerima, secara sikap kita butuh banyak belajar dari matematika. Matematika adalah guru kejujuran. Guru yang suci, guru yang bersih, guru yang terlahir buta dari sikap subjektif. Ia hadir atas nama kesepakatan-kesepakatan, di baiat untuk memimpin kebenaran. Manis dunia sama sekali tidak menarik baginya, Ia teguh menjaga kewibawaan satu tambah satu tetap sama dengan dua walaupun terancam kere, walau disingkiri, walau berteman-dekat dengan mati. 

Bagi sang guru, walau begitu besar resiko atas sikapnya, sedikitpun tak mengendurkan nyalinya, betapa sedetikpun idealisme tak pernah goyah, apalagi terbesit kerisauan atas masa depannya, lha wong Tuhan sendiri telah menyampaikan, sebagai penghargaan atas kemuliaan yang telah ia jaga, kelak akan menggunakan jasanya ketika nanti di Yaumul-Hisab. Murni bertugas untuk menghitung amal baik dan buruk manusia selama hidup di dunia, yang kemudian nanti hasilnya akan digunakan Tuhan untuk fit and proper test menentukan si-menungso/ si-menus-olo ini bakal masuk surga atau neraka.

Ialah guru, walau sebagai ilmu pengetahuan telah banyak ditaklukkan, namun secara sikap ia tak akan mampu tersentuh dan terungguli oleh manusia walau selangkah. Mengingat manusia modern kini malah semakin mawas diri, takut dan ragu untuk bersikap sepertinya. Apalagi apabila sikap tersebut berpotensi akan mengganggu kenyamanan, banyak orang memilih untuk pura-pura tidak tahu atau mantuk-mantuk saja mengikuti ‘irama’. Keberanian mereka seketika menciut tatkala menyangkut urusan perut, nampak jelas jauh sekali berbeda tidak seperti ketika mereka dengan garang melempar komentar pedas atas kesalahan orang lain di sosial media. 

Cara kita menilai pun dapat disesuaikan, tergantung sikon dan suasana hati. Terlampau subjektif karena menganut prinsip suka atau tidak suka, sehingga walau sehebat dan sebaik apapun seseorang telah berusaha, tetaplah salah dan banyak luputnya. Dalam hitungan sepersekian detik saja manusia dapat memunculkan beribu macam alasan di kepalanya (dalam upaya mencari pembenaran diri) untuk tidak perlu lah bersikap tulus mengakui keunggulan orang lain atau secara berani mengakui kesalahan diri.

Komentar