Langsung ke konten utama
Ingat betul ketika itu musim hujan di
bulan Juli 2003, namun tanggalnya lupa. Ada bekas oli dibetis yang tidak sempat
kubersihkan. Kukayuh cepat laju sepeda yang rantainya sering lepas, mengejar gerimis
kecil di sore hari itu. Setiba dirumah
bergegas kuusap muka dengan handuk, jam dinding sekelebat kulirik menunjukkan
pukul setengah empat, biasanya lampu memang belum dinyalakan. Suasana saat itu
begitu gelap, hanya sesekali petir yang datang menyambar. Terdengar langkah
kaki kecil menujuku, mungkin itu ibu akan menawarkan teh hangat pikirku. Segera
kubuka handuk yang menutupi muka karena penasaran. Betapa kagetnya, kulihat
sosok hitam menodongkan kertas putih tepat didepan mukaku; “iki gim, ono undangan kumpulan, kon ngedumke!”. Astaga, ternyata memang
benar itu ibuku, jaket parasut hitam bertuliskan Honda itu kini sering sekali
dipakai ibu kemana-mana, daripada masuk angin alasannya.
Bangga dan seakan tak percaya, tak
kalah gegap gempitanya dengan prosesi pelantikan President yang disaksikan
seluruh negri. Hanya saja hegemoni ini cuma bisa aku sendiri yang merasakan dan
merayakannya dalam hati. Tugas ”ngedumke undangan” adalah tanda datangnya masa
remaja. Sampai jumpa serunya dul-dulan, selamat tinggal “ngirik iwak” dikali, I
miss you nonton kartun Dragon Ball di hari minggu, dan semua moment lucu yang
tak tersentuh manipulasi kamera, kulambaikan tangan, kuucap Dadaaah untuk masa
kecil yang sangat sangat amat bahagia.
Seakan adegan film, terdengar
backsound lagu perjuangan empat lima yang membakar semangatku . Tak peduli gerimis
yang sedari tadi belum tuntas membasahi bumi, aku hantarkan satu persatu
undangan yang sebenarnya agak sedikit membuat kecewa dalam hati. Yap betul, ini
adalah model undangan yang biasanya dijual ditempat fotocopy. Tapi tak apalah,
sambil jalan kuhibur diri dengan motivasi, siapa tau nemu mangga jatuh dijalan,
siapa tau ada yang traktir bakso pentol, siapa tau ditawari ngicipi tempe
mendoan.
Waktu itu belum banyak Handphone,
apalagi canggihnya android yang mampu dipasang social media untuk memudahkan komunikasi.
Melihat seisi dunia dalam layar 4 inc seperti sekarang ini, masih terdengar
konon katanya. Oleh karena itu tugas
seorang pengantar undangan adalah pokok hukumnya. Layaknya seorang patriot yang
mendadak diberi tugas terjun ke medan pertempuran demi membela Negara.
Sesuai aturan yang berlaku, setiap
anak yang sudah mulai menginjak bangku SMA, adalah syarat pertama untuk naik
tingkat menjadi SINAR REMAJA. Apabila dahulu ketika masih anak-anak adalah
sasaran atau objek kegiatan program kerjanya, kini tibalah menjadi bagian tim
sukses dibalik tawa riang anak-anak ketika kegiatan semacam sepeda gembira berhasil
dilaksanakan. Tuhan menghadirkan perasaan yang random saat itu, seperti minum
chapucino cincau saking tak jelasnya. Ada waswas sekaligus takut; apabila
terlanjur lalai dan tak mampu membantu ketika tugas menyebarkan berita lelayu
tiba. Ada rasa malas bercampur cemas; ketika hari minggu wajib kerja bakti
membersihkan lingkungan dari sampah dan bau. Dan puncaknya timbul perasaan
kawatir plus bingung; seketika itu juga sudah mulai membuat ancang-ancang
alasan yang sengaja akan dibuat untuk datang terlambat ketika shalat tarawih,
karena semua tau bahwa imam penceramah di mushola RW-23 acapkali tidak hadir.
Dari pintu ke pintu, kuhantarkan
undangan satu persatu, kutendang jauh-jauh pikiran yang sedari tadi menganggu.
Tersadar diujung lamunan sambil ngeleg idu aku hayati dalam-dalam perananku. Berawal
dari hal sederhana semacam “Ngedum undangan” ini membuatku dibanjiri berbagai macam
pemahaman baru. Baik sadar atau tidak, ini adalah benih untuk menumbuhkan sifat
amanah, kita akan tau bagaimana caranya menghargai sebuah proses. Karena semua perlu
digodog terlebih dahulu agar matang sebelum disajikan. Sehebat apapun dan sejauh
manapun pencapaianmu nanti, adalah berawal dari sikap TANGGUNG JAWAB yang sudah
mulai kau cicil hari ini. Terpatri pula keyakinan dalam diri, bahwa setiap
kebaikan yang kita tanam adalah investasi, adalah tabungan untuk kelak jika
kita nanti mati, Insyaallah masih banyak orang lain yang juga akan peduli.
Sesampainya dirumah, segera kuraih
handuk yang tercentel dipaku, terdengar jelas suara seperti tangan yang kegaduk
pintu. Sengaja aku tak menengok apa itu, tapi ternyata kali ini benar itu ibuku,
beliau terburu-buru menahan panas karena membawakan teh untukku.
Komentar
Posting Komentar