Menjaga Wibawa Kala Hujan Tiba






Saya suka dengan hujan. Baik sekedar mendengar rintiknya dari dalam kamar, melihatnya sambil berteduh, atau keluar menikmatinya. Mengingat umur kini, ya saya hanya dapat menikmati sambil mengendara motor ketika waktunya pulang kerja namun hujan turun secara tiba-tiba. Sesuka-sukanya saya, itupun masih masih tetap mengenakan mantel untuk menerobos hujan, saya sadar masuk angin itu tidak keren. Bertemu dengan murid padahal hidung santrap-sentrup karena pilek, ketahuilah bahwa saat itu juga wibawa seorang guru seperti turun nyungsep ke dasar lautan paling dalam. Suka ya suka tapi juga perlu tau diri. 

Bentuk rasa kagum kepada hujan tersebut membuat saya mempunyai sebuah keinginan untuk memberi nama hujan pada anak saya kelak. Entah untuk anak pertama, kedua, atau ketiga. Entah sebagai nama depan, tengah atau belakang, belum ketemu. Pokoknya saya suka hujan tapi tetap ingin tampil elegan.

Memang, kesukaan setiap orang tidaklah sama. Kalau teman-teman saya lebih menggemari sunset. Mereka kadang dengan sengaja menyisihkan jatah uang jajan, ditabung dan dipersiapkan untuk akomodasi berlibur. Semua itu dilakukan semata-mata hanya untuk menyaksikan sunset dipantai. Walau lebih seringnya mereka terlihat hanya duduk-duduk syantai saja dipinggir sawah.

Presiden kita Pak Jokowi, memiliki gaya yang cukup unik. Beliau memerintahkan para pembantunya menangkap kodok disawah untuk kemudian ditempatkannya di kolam taman istana negara. Harapannya sederhana, ketika malam atau setelah hujan tiba, beliau dapat mendengarkan para kodok tersebut bernyanyi, serasa kembali seperti dikampung halaman ungkapnya. Mungkin dengan cara tersebut dapat membuat beliau rileks setelah seharian penuh mendapat tekanan kerja. Atau mungkin lebih tepatnya tekanan partai.

Orang luar negri sana sama seperti mamak saya, sama-sama menyukai panasnya matahari. Bedanya bule-bule itu untuk berjemur dipantai, kalau mamak untuk mepe gabah. Sebuah aktifitas yang sebenarnya dilakukan bukan atas dasar suka atau tidak suka, tetapi dilakukan karena hanya itulah satu-satunya cara agar padi dapat menjadi kering. 

Saya masih berharap ada seorang jenius yang menemukan alat pengering padi. Kasihan lho para petani kala musim hujan tiba, sudah habis-habisan modal yang dipakai untuk sampai masa panen, tapi masalah belum selesai ketika tidak ada panas untuk menjemur padinya. Jadi saya doakan kepada siapapun saja yang berhasil membuat mesin tersebut, semoga masuk surga paling atas, satu komplek bersama para aulia dan pemimpin-pemimpin yang melegenda. 

Saya yakin sekali, mesin ini pasti akan sangat efektif untuk meningkatkan jumlah peminat profesi petani yang belakangan ini menurun drastis. Kita tau sendiri, cita-cita menjadi seorang petani kini tidaklah mentereng. Terpinggirkan dan terlupakan karena orang-orang masa kini lebih memilih pekerjaan yang dipandang praktis dan higienis semacam menjadi tukang ojek online. Karena televisi mengajarkan yang ganteng dan cantik itu adalah mereka yang mempunyai kulit putih dan bersih, maka semakin jijik saja orang-orang untuk mau nyemplung ke sawah.

Kita kembali ke-Hujan. Ia sering dijadikan alasan gagalnya suatu rencana. Meski tidak gagal seratus persen tapi hujanlah yang sering disalahkan karena kedatangannya dianggap merusak suasana. Sebagai pribadi yang dulunya giat bekerja dan banyak melakukan aktivitas diluar rumah, datangnya hujan saya rasa hanya semakin menambah penderitaan saja. Memang saya akui, cara berpikir waktu itu belum terbuka. Namun bagaimana tidak kesal dan kecewa, bagaimana bisa ngampet untuk tidak misuh, coba bayangkan saja rencana yang sudah jauh-jauh hari disusun, dipersiapkan secara matang dan dikemas sebaik mungkin, tiba-tiba ambyar karena adanya hujan. 

Kalau boleh sedikit cerita, sebelum mantap menjadi seorang guru seperti sekarang ini, saya sempat menjadi operator warnet yang menyambi usaha dalam bidang konveksi kecil-kecilan. Selain produksi kaos dengan desain buatan sendiri, saya juga menerima order pembuatan baju-baju seragam dari komunitas, sekolah atau perusahaan milik teman-teman. Desain dan promo secara online saya kerjakan diwarnet, proses produksi berupa belanja kain, sablon/bordir, dan jahit saya lakukan setelah jaga, kemudian kaos-kaos itu diwaktu luang saya jual sendiri dipinggiran jalan Malioboro. Untuk menjalankan itu semua menjadikan hampir lebih dari 60% hidup saya waktu itu ada dijalan. Waktu dirumah dengan segala kenyamanannya sangatlah minim. Dengan pola hidup seperti itu, maka jelas sudah apabila kala itu saya menganggap datangnya hujan sebagai salah satu halangan dalam mewujudkan asa.

Sampai saya tiba pada suatu waktu, pada beberapa tahun yang lalu. Saat musim kemarau tiba, yang bagi saya pada waktu itu merupakan sesuatu yang sangat memberkahi karena dapat dengan tenang mencari nafkah sebanyak-banyaknya tanpa berurusan kembali dengan hujan. Ada sebuah kejadian yang membelalakkan mata dan membuat saya menyadari bahwa berkah hujan ternyata begitu mahalnya harganya. Membuat rasa jengkel yang selama ini tertuju pada hujan karena berbagai macam kesialan yang diakibatkannya, perlahan-lahan luntur dan berubah menjadi rasa suka. 

Pernah suatu ketika, sawah-sawah garapan bapak kering kerontang karena kurang lebih tiga bulan hujan tidak turun membasahi bumi. Padahal sawah sudah terlanjur ditanami padi. Prediksi bapak bahwa tidak lama setelah masa tanam akan turun hujan, salah total. Keadaan tersebut mengakibatkan kami mau tidak mau harus mengusahakan berbagai macam cara agar tidak gagal panen. 

Melihat kondisi tanah yang semakin mengering dan mletek-mletek (baca; pecah-pecah) maka eksekusi kami segerakan. Didatangkanlah sebuah Diesel, alat untuk menyedot air dari dalam sumur untuk kemudian dialirkan ke sawah. Kebetulan sawah yang menjadi korban pada waktu itu berada tepat disamping rumah, jadi tidak terlalu sulit bagi kami untuk mencari sumber air. Setelah berliter-liter bensin digunakan dan berjam-jam mesin dinyalakan, namun ternyata sawah tidak juga terlihat tercukupi air, padahal bapak sudah gemas ingin segera melihat sawah yang basah. Namun karena sudah sore, kami putuskan dilanjutkan besok. 

Pagi-pagi sekali suara bising mesin diesel sudah mengganggu, saya sampai ikut terbangun padahal pada masa itu tidur disubuh hari sangat biasa saya lakukan. Hari kedua ketiga dan seterusnya sama, mesin dari pagi sampai sore dinyalakan, hanya pada saat malam dan rolasan saja mesin terlihat ikut diistirahatkan. Hingga setelah hari kelima akhirnya berhenti, mesin diesel dikembalikan pemiliknya dan saya tidak lagi bolak balik ke SPBU untuk menyetok bahan bakar. Selain menguras kantong belakangan bapak menyadari usaha tersebut nihil belaka.

Saya mencoba menghitung-hitung anggaran yang telah digunakan untuk membiayai usaha tersebut, ternyata untuk ukuran saya pada waktu itu nominalnya cukup fantastis. Hampir menyetuh penghasilan saya selama 2 bulan. 

Saya menjadi tahu, ternyata dibalik semua itu ada pesan tersembunyi. Seharusnya saya peka, bahwa ini bukan masalah untung-rugi, karena sudah jelas dari awal ini pasti rugi. Sama sekali tidak ada raut kekawatiran dari wajah bapak kalau-kalau musim ini tidak dapat makan nasi dari hasil tanam sendiri. Namun yang akhirnya saya tangkap, semua itu dilakukan oleh bapak dan mamak semata-mata untuk menjaga wibawa. Karena satu-satunya cara agar Tuhan tetap mempercayakan tugas mulia tersebut kepada petani-petani kecil semacam mamak dan bapak, ya, adalah dengan menunjukkan usaha. Minimal dihadapan Tuhan kita tidak terlihat pasrah ataupun loyo, minimal Tuhan tidak merasa rugi karena selama ini telah memberikan limpahan berkah yang tidak terkira.

Teladan yang luar biasa baik dari kedua orang tua saya tersebut selalu coba saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari, namun hingga kini yang mampu saya lakukan hanyalah sekedar menjaga wibawa kala hujan tiba agar tidak pilek.

Komentar