Zaman memang telah begitu melesat maju sehingga jauh sudah
kita meninggalkan kebiasaan lama. Anak-anak generasi milenial kini tidak akan
ada yang tahu bahwa pernah ada suatu hubungan yang mesra antara kaset dengan
sebuah pensil. Dimana untuk dapat mendengarkan sebuah lagu yang kita ingini,
diperlukan usaha lebih untuk meraihnya. Yups, pensil digunakan secara manual untuk
mempercepat atau memundurkan pita kaset. Walau hanya satu lagu saja yang kita
sukai dari seorang penyanyi, mau tidak mau kita tetap harus menerimanya dalam
bentuk bongkokan satu album yang dibagi menjadi side A dan side B. Itupun untuk
menuju lagu tersebut, kita tetap menggunakan unsur mengira-ira. Tak jarang meleset,
seperti prediksi kemenangan pilkada.
Hasrat ingin mendengarkan lagu-lagu favorit tersebut,
membuat fasilitas sekolah berupa jaringan internet gratis dan cepat ditunjang
dengan seperangkat komputer beserta sound audio sistemnya, begitu menggoda.
Saya katakan menggoda karena musik apa saja terngiang-ngiang dikepala, kini dapat
dengan mudah diakses melalui Youtube. Ketika kita membutuhkan sebuah lagu
pelipur lara ataupun menginginkan tembang-tembang nostalgia guna menghidupkan
kenangan lama, kita tidak perlu lagi harus pergi ke toko kaset dan membelinya.
Tinggal ketik kemudian klik saja, maka dalam sepersekian detik setelahnya lagu
tersebut akan muncul dihadapan kita.
Sebagai seorang yang menggemari berbagai macam musik, tidak
terpatok satu jenis musik atau mengidolakan salah seorang musisi saja, saya selalu
gagal menjadi penggemar yang baik dan benar. Lagu apapun asalkan terasa benar ditelinga, saya dengarkan. Mulai
dari yang easy-listening ala-ala Payung Teduh, ataupun yang sedikit berirama
dangdut semacam lagu Dua kursi milik Rita Sugiarto, sampai-sampai yang nge-punk
dan hardcore seperti Social Distortion sekalipun, semua ada, semua masuk dalam
playlist musik kesukaan saya.
Entah ketidakjelasan identitas dalam menggemari musik ini
sebenarnya merupakan berkah atau musibah, karena oleh seorang murid pernah saya
ketahuan menyetel lagu “Kimcil Kepolen” milik NDX dengan asiknya. Volume saya keraskan,
lirik lagu saya ambil dari google, dan sambil merem-melek saya mengikuti
menyanyikan lagunya. Nikmat sekali, seakan curhat. Padahal itu adalah grup
musik yang digandrungi oleh anak-anak muda masa kini karena banyak memiliki
lagu-lagu hits yang sarat dengan lirik tajam dan mengena, termasuk didalamnya
terkandung satu dua kata yang masuk kategori sarkasme dan pisuhan. Kan gaswat,
diluar kita mengajarkan untuk bersikap santun dan berbudi pekerti, melarang
anak-anak agar jangan mengeluarkan kata-kata kotor berupa misuh dan mbajing-mbajingke,
e.. malah ketahuan sama-sama ngefans NDX. Asem tenan. Semoga kelak keluar
lagu-lagunya yang versi syariah dan lulus sensor.
Dari kejadian memalukan diatas sebenarnya saya hanya ingin
menegaskan disini, bahwa tidak semua guru berasal dari lingkungan yang alim.
Kata-katanya selalu halus dan penuh pelajaran berharga. Tindak tanduknya
terpuji dan dapat diteladani. Seharusnya semua orang pahami itu, bahwa guru juga
hanyalah manusia biasa, juga memiliki hobi dan kesukaan yang sama, tidak ada
yang berbeda. Sama seperti orang kebanyakan.
Oleh karena itu, maka jangan kaget apabila suatu ketika nanti
mendapati seorang guru yang sedang berdiri lantang dan hanyut dalam riuh
gemuruh dalam stadion layaknya para suporter yang mendukung kesebelasan
favoritnya, atau jangan heran pula apabila kelak suatu sore bertemu seorang
guru yang menggendong kandang burung karena hendak nggabur doro.
Namun demi menjaga nama baik dan citra seorang guru yang
layak digugu dan ditiru, kadang semua
itu mereka korbankan, dan terpaksa mereka gadaikan. Bagi saya pribadi dan
beberapa teman sepermainan, kami mengakui selalu dan selalu kewalahan dalam menghadapi
hal ini. Menahan diri adalah kelemahan terbesar kami. Bayangkan saja, ketika
senin sampai sabtu pekerjaan terus saja datang tak mengenal kata spasi, bahkan
kadang hari minggu pun juga masih dipakai kegiatan sekolah, maka tolong jawab
pertanyaan saya, siapa kiranya -selain Samson- orang yang kuat dan mampu bertahan?
Padahal hasrat sudah memuncak, apabila tidak segera
terpenuhi besar kemungkinan menambah daftar orang stres abad ini.
Seperti teman saya satu ini, namanya Umar Bakri (sebenarnya agar identik saja seperti lagu) seorang guru
SMK di salah satu sekolah negeri di kabupaten Sleman. Dia memiliki hobi yang
mainstream, yakni nonton dangdut. Suatu ketika ditengah padatnya pekerjaan yang
mesti diselesaikan, dia mendapatkan informasi bahwa akan ada acara dangdut yang
diselenggarakan tidak jauh dari tempatnya mengajar. Tentu saja ini menjadi
kabar gembira baginya, karena sudah terlalu lama menahan diri, sampai ngakik.
Maka tibalah pada hari yang ditunggu-tunggu. Dengan semangat
membara teman saya sedari sore sudah sibuk menghafalkan lagu. Tak lupa agar
tidak keseleo saat asik joget nanti malam, ia sempatkan untuk pemanasan
sebentar, maklum balung tuo. Hingga sesampainya
di lokasi acara, barulah ia tersadar bahwa acara tersebut berada disekitaran
sekolah, otomatis akan banyak anak didiknya yang juga hadir menyaksikan, secara
lokasi tidak jauh dari tempat mereka tinggal. Pantas saja sedari tadi ia merasa
seperti banyak terlintas wajah-wajah tidak asing yang sering ia marahi di
sekolah.
Alhamdulillah harga diri masih menjadi kemewahan
terakhir yang tetap dimilikinya. Oleh karena itu, walaupun penuh rasa kesal
didalam dada, ia putuskan untuk segera menepi mencari kegelapan, hasrat untuk
berjoget dengan sangat terpaksa, cepat-cepat ia tanggalkan. Semua itu ia lakukan
semata-mata agar jangan sampai ketahuan. Apalagi kepergok satu lantai dansa asik
berjoget bersama seperti para muridnya.
Namun untung tak
dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kali ini nampaknya ia
memang sedang tidak beruntung. Dengan lugunya ada salah seorang murid yang datang
menyapa. “Pak, pun dangu?” (Pak, sudah daritadi?) Teman saya hanya mengangguk
saja. Kemudian si murid tersebut memanggil teman-temannya yang lain,
mengabarkan kalau ada guru mereka disini. Akhirnya setelah acara salam-salaman terjadi
ia segera melipir, motor ia starter, cuss pulang kerumah. Sesampai dirumah, koleksi
video dangdut di youtube offline mode, ia setel keras-keras. Tombo kagol.
Pertama mendengar cerita tersebut dari si Umar Bakri, saya dan teman-teman yang
lain hanya dapat terpingkal-pingkal sambil memegangi perut. Kemudian untuk mengantisipasi
agar tidak terjadi kejadian serupa, kami sepakat untuk mencukupkan via youtube
saja. Tentu saja keputusan tersebut memaksa kami untuk mau tak mau harus lebih
rajin lagi menabung, harapannya agar uang yang terkumpul kelak dapat digunakan
untuk pasang wifi sendiri dirumah. Atau, secara patungan kelak kami dapat
menggunakan uang tersebut untuk nanggapdangdut sendiri. Eksklusif.
Komentar
Posting Komentar