Belajar untuk Bahagia


Presiden Joko Widodo atau Jokowi mendorong Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy agar segera merombak sistem pendidikan Indonesia. Jokowi menilai selama ini pemerintah belum banyak berpihak kepada para siswa dan guru. Banyak sudah hal yang selama ini telah diupayakan, seperti mengganti kurikulum, membuat diklat dan pelatihan-pelatihan untuk guru, menambah jam pelajaran di sekolah, namun indeks mutu pendidikan tidak juga semakin baik.

Oleh desakan President dan dari bebagai pihak, akhirnya pada Kamis 6 Juni 2017, tepat 116 tahun peringatan hari lahirnya President pertama Ir. Soekarno, Kementrian Pendidikan dan kebudayaan melalui situs resminya mengumumkan kebijakan terbarunya yang antara lain berisi seperti berikut :
  1. Mengangkat seluruh guru di Indonesia yang masih berstatus Honorer/GTY/GTT menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) minimal dengan masa kerja 1 tahun.
  2. Mengurangi hari dan jam belajar di sekolah menjadi 5 hari kerja dengan proses kegiatan belajar mengajar selambat-lambatnya sampai pukul 12.00 WIB
  3. Menghapus Ujian Nasional dan melarang pemberian PR/ Tugas berlebih kepada seluruh siswa
  4. Tidak membebani guru dengan tugas administrasi
  5. dan Menaikkan 100% gaji seluruh guru dan atau tenaga kependidikan
*********
Pripun pak, buk? Nyenengke nggih?
Namun tolong, jangan buru-buru copas dan kemudian share, karena berita diatas dipastikan HOAX. H-O-A-X = HOAX. Tentu saja itu semua hanyalah bohong alias khayalan penulis belaka. Atau, mungkin lebih tepatnya berita tersebut hanyalah sepenggal contoh saja, format menulis berita yang menggembirakan. Kerja nyata penulis dalam upaya membahagiakan para pembaca sekalian, khususnya teman sesama guru, tenaga kependidikan dan semua yang berkecimpung didalamnya.
Sebuah cara untuk berbahagia dan saling membahagiakan, walau hanya bohong belaka.
*********
Kepada para siswa, kita (guru) banyak menjejali berbagai macam materi pelajaran dan nasehat. Ada yang asik-asik saja mengikuti, menerima dan memahaminya sebagai sebuah rangkaian dari perjalanan panjang menuju kesuksesan. Dalam diri mereka telah tumbuh kesadaran-kesadaran alamiah yang membuat proses belajar terasa nikmat, juga telah terbentuk sebuah keyakinan di dalam benak mereka bahwa kebahagiaan yang hakiki ialah ketika mereka dapat membuat orang lain tersenyum.

Tipikal siswa yang seperti ini tentu saja menjadi sebuah berkah bagi setiap sekolah, karena dengan begitu guru dapat menjalankan pekerjaan sesuai rencana. Tinggal memberikan tambahan materi dan pengayaan apabila diperlukan, tidak usah repot-repot mengurusi hal-hal yang tidak perlu.

Namun patut kita sadari bahwa sebagian besar yang kita hadapi kini adalah siswa-siswi yang berlaku sebaliknya. Di depan kita bukan lagi generasi tangguh sekaligus patuh, yang tidak akan nglokro walaupun dijewer gurunya sampai telinganya hampir putus. Kenyataan yang harus kita terima kini adalah mendapati badan-badan yang mereka bawa ke sekolah namun pikiran dan hati entah kemana.
Nampaknya mereka taruh dalam layar kecil berukuran kurang lebih 5 inci.

Mereka terhanyut dalam sebuah perangkat yang dapat memfasilitasi mereka untuk dapat menjadi siapa saja. Sebuah alat yang dapat mengobati segala duka, menampung semua rahasia, bahkan satu-satunya tempat yang mau membuka telinga secara lebar-lebar untuk mendengar cerita-cerita mereka.

Ada semacam efek ketergantungan yang kemudian menyebabkan mereka seperti lebih mempercayakan gadget-gadget sebagai sumber kebahagiaan. Ada wabah yang membuat mereka seakan tidak percaya diri dengan keadaan. Mau tidak mau mereka dipaksa lari mengejar ilusi kebahagiaan. Mengejar kebahagiaan-kebahagiaan semu ciptaan orang lain.

Oleh apa yang sering mereka lihat di smartphone dan tivi, akhirnya menjadikan mereka tertanami dengan standar-standar tinggi, bahwa jika engkau ingin bahagia maka engkau harus begini dan harus begitu. Engkau tidak boleh ini dan engkau tidak boleh itu. Jika kau ingin tampil cantik dan terpuji, maka hidungmu harus mancung, kulitmu wajib putih, badanmu harus tinggi semampai dengan sedikit pertunjukan dibagian dada. Jika kamu jomblo artinya kamu jelek, tidak laku, manusia terkutuk, hidupmu menyedihkan. Begitu kira cara berpikir yang hendak dibangun. Maka berbondong-bondonglah mereka berusaha mencoba memenuhi ilusi-ilusi tersebut, maka malulah mereka apabila tidak bisa menjadi seperti orang kebanyakan.

Ini jelaslah sebuah ironi, dimana seharusnya kita mampu menyanding teknologi sebagai rekan kerja. Bukan malah menjadi pisau bermata dua yang secara perlahan membunuh karakter dan mental anak-anak didik kita. Ada dua kemungkinan yang kiranya mensebabkan pendidikan dan teknologi seakan tidak dapat berjalan berdampingan.

Pertama, kita harus berani jujur mengakui bahwa peran orang tua kini seakan secara perlahan telah diganti oleh seperangkat digital. Melalui telepon-telepon pintar yang masing-masing mereka miliki, fungsi dan tanggung jawab orang tua ataupun guru semakin terkikis oleh lengkapnya fitur-fitur yang ada. Ketika seorang anak merasa kesepian dan membutuhkan seorang teman, ada HP yang kapanpun selalu siap mendengar dan menemani mereka dikala suka maupun duka. Ketika seorang anak memerlukan dukungan dan jawaban atas segala pertanyaan, hanya HP yang dengan tulus sudi hadir dan memberikan sesuatu yang mereka butuhkan. Dengan begitu tentu saja hubungan antara si anak dan HP semakin sulit terpisahkan.

Kemungkinan Kedua bisa saja karena mereka tidak tahu cara menemukan kebahagiaan dengan cara yang sederhana. Rata-rata usia anak SD/ SMP/ SMA adalah 10-17 tahun, apabila sekarang tahun 2017 kemudian kita tarik mundur berarti mereka lahir di sekitaran tahun 2000-an awal. Dimana pada tahun-tahun tersebut merupakan awal mulai berkembangnya alat komunikasi berwujud telepon genggam. Artinya memang sejak mereka lahir sudah bersaudara dengan handphone, yang semakin kesini tentu saja semakin canggih dan berwarna.

Mereka bukanlah generasi yang hidup seperti kita, orang-orang  yang berhasil menemukan kebahagiaan-kebahagiaan besar melalui berbagai cara yang terlampau sederhana. Belum tertempel di jagat pengetahuan dan wawasan mereka, bahwasannya ada lho di luar sana kegembiraan-kegembiraan yang dibawa oleh permainan lawas seperti petak umpet, gobak sodor, ataupun hanya sekedar bermain gundu. Menyenangkan sekali lho dapat berlari-lari mengejar layang-layang putus atau terbirit-birit melarikan diri karena ketahuan pak mandor mengambil tebu.

Oleh karena ketidak-tahuan mereka akan kebahagiaan yang sejati yang telah menunggu diluaran sana, maka menjadi tugas kita bersama untuk hadir menemani, menuntun dan mengajarkan kepada mereka seperti apa sebenarnya kebahagiaan yang hakiki. Ceritakan kepada mereka bahwa di luar sana, di bawah langit dan di atas tanah terbuka, tanah yang ditumbuhi rumput-rumput hijau dan bunga-bunga, tanah yang diatasnya beterbangan berbagai macam burung dan kupu-kupu, telah menunggu berjuta keceriaan sejati yang dirancang sendiri oleh sang semesta. Mari pelan-pelan kita bangunkan dan ajak mereka keluar dari layar kecil yang memenjarakan mereka.

Minimal mereka harus paham, kebahagiaan tidaklah jauh dan bukanlah sesuatu yang letaknya berada dalam angan-angan nan tinggi. Kebahagiaan tidak harus mahal dan membebani, kebahagiaan biasa datang dari hal-hal kecil dan sepele, seperti merasakan betapa bahagianya tertipu oleh khayalan pada tiga paragraf pertama, misalnya.

Komentar