Diplomasi Kulit Durian




Taksiran saya, tidak sampai 250 Rupiah untuk harga saus yang terdapat dalam setiap kemasan bakso goreng yang biasa dijual di koprasi sekolah. Saya yakin si-produsen tidak akan berani membayar lebih untuk memakai merk yang mungkin lebih terkenal, karena pada dasarnya saus tersebut hanya sebagai pelengkap semata. Apabila kita taruh angka 600 Rupiah untuk belanja bahan dasar, ongkos produksi dan biaya pemasarannya, mau untung berapa produsen bakso goreng tersebut? Padahal koperasi dan dimanapun warung tempat menjual bakso goreng ini juga perlu sedikit diberi keuntungan. Sambil jalan meninggalkan koperasi, akhirnya di bakso butir ketiga saya sudahi mengolesinya dengan saus, karena seringnya muncul di tivi-tivi berita tentang pengoplosan berbagai macam jenis makanan, saya kawatir saus tersebut adalah salah satunya.

Saking asiknya memikirkan saus, saya sampai  tidak sadar ternyata lantai dari pintu keluar koperasi menuju ruang piket, masih basah karena habis dipel oleh Pak Harto. Dari dalam ruang piket yang dindingnya terbuat dari kaca, nampak jelas bekas jejak langkah kaki yang tertinggal dikeramik warna putih dan samar-samar pada warna hijaunya. Untung tukang-insinyurnya dulu lumayan kreatif, keramiknya dipasang selang-seling.

Dari dalam ruang itu pula, gagahnya gerbang sekolah sebelah selatan nampak dari belakang. Saya serasa sedang dipunggungi oleh raksasa yang sama dalam dongeng timun mas.

Persis disamping gerbang adalah Masjid Banaran, dimana dulu saya sering ngobrol dengan Mbah Wito. Didalam gudang masjid yang sempit itu, sambil leha-leha tiduran diatas gulungan karpet beliau menceritakan kisahnya. Saya selalu cekikian asik sendiri mendengarnya, bukan karena apa yang diceritakannya memang selalu lucu, namun yang dapat saya titeni, ketika ia berbicara dan pada setiap kata yang berakhiran huruf-A, giginya yang ompong sering muncul tiba-tiba, membuat saya sulit menahan tawa.

Baru saja, saat ditengah asiknya saya melamun, tiba-tiba saja saja Bu Nafi menyambar dan memberi tugas agar nanti sepulang sekolah ikut menemaninya home visit. Beliau mendapati laporan, bahwa ada salah satu anak yang setiap hari rabu dalam satu bulan ini selalu tidak masuk. Padahal saya ingat betul saat motor yang ditumpangi dia dan kakeknya mulai menepi, kemudian turun dan menyalami saya. Tapi nama Rizky yang disebut oleh Bu Nafi tadi benarlah dia yang saya maksud atau bukan? Saya masih ragu, karena sepengamatan saya dia bukanlah anak yang sering membuat masalah. Kenakalannya masih dalam taraf standar saja, paling-paling kencing di WC tapi kemudian tidak disiram. Terlebih lagi di sekolah ini ada tiga anak yang mempunyai nama yang sama; Rizky Febian,  Rizky Cahaya Purnama, atau malah bisa saja perempuan, karena ada juga yang bernama Meyrizky Pujiastuti. Tapi yang saya yakini betul, adalah bahwa si Rizky yang rutin setiap rabu tidak masuk sekolah ini pasti menghindari sesuatu.

*****
Di luar mendung sekali. Sementara pesan saya kepada istri yang menunggu dirumah belum juga dibaca. Saya harus segera mengabarinya, agar ia tidak menunggu dengan penuh kekecewaan. Sesuai kesepakatan kami tadi malam, ia memperbolehkan saya minum kopi sachet kesukaan saya itu lagi, asalkan sepulang sekolah nanti saya mau menemaninya berburu durian. Sebuah transaksi yang sebenarnya tidak sebanding. Melalui pesan singkat itu saya hendak mengabarkan bahwa nanti mungkin saya pulang agak terlambat.
*****

Entah sengaja atau tidak, ruang piket yang saya tempati ini tidak ada lampunya. Bahkan banyak teman sesama petugas piket yang lain, mengeluhkan akan ukuran ruangannya yang sempit, hanya kurang lebih sekitar 1 x 2 meter persegi. Kipas angin saja, satu-satunya hiburan untuk kami dikala cuaca panas, sekarang pergi entah kemana. Sebenarnya ada komputer yang mojok disisi barat ruangan, kami tidak tahu itu masih berfungsi atau tidak, hanya saja kami lebih memilih membawa laptop sendiri untuk nyambi mengerjakan tugas. Selorokan tempat menaruh keyboard biasa kami pakai sebagai meja, maklum, meja depan dengan posisi colokan jaraknya cukup jauh, membuat kami harus mencari cara agar laptop bisa terus menyala. Namun yang patut saya syukuri, saat kondisi mendung gelap seperti ini, dengan dinding kaca dibagian timur dan selatan, tidak adanya lampu sebagai penerangan membuat saya merasa aman. Karena apabila ada lampu dan kemudian dinyalakan, saya merasa seperti manekin yang dipanjang didepan toko-toko baju.

Ketika merasa sumpek didalam ruang piket, biasanya kemudian saya keluar nangkring di joglo, pos satpam, ataupun hanya disekitaran tempat wudlu. Tempat-tempat ini saya rasa tepat, karena selain disana banyak orang yang bisa diajak ngobrol, saya pun bisa mengawasi apabila ada anak yang keluar ke kantin saat jam pelajaran.

Tidak seperti kebanyakan tempat wudlu yang menghadap tembok, bentuknya setengah lingkaran mengelilingi taman. Untuk memasuki area wudlu tersebut ada tiga bagian, dan didepan pintu masuk yang tanahnya rata, saya duduk menggunakan semacam bangku kelas yang tidak terpakai. Sambil menikmati suasana mendung dan angin sepoi-sepoi, saya menanti, biasanya nanti Pak Satpam  setelah selesai menyapu bunga kamboja yang jatuh berguguran, akan datang menghampiri.

Ada dua orang yang saya anggap sebagai guru dalam membina dan membangun mahligai rumah tangga. Selain Pak Beni, Pak Satpam ini adalah salah satunya. Banyak pengalaman dari beliau berdua ini yang saya ambil sebagai pelajaran berharga. Yang membuat saya semakin yakin untuk membai’at berliau berdua ini sebagai guru, adalah karena saya tahu persis di-angka berapa mereka menerima gaji setiap bulannya. Strategi menghidupi istri dan dua anak mereka yang bagi saya diluar logika. Kami banyak membahas tentang berbagai masalah terkait lika-liku kehidupan. Tentang betapa repotnya mengurus anak-anak ataupun betapa memprihatinkannya hidup yang harus dijalani saat mempersiapkan dana guna memperbaiki rumah yang kami huni. Termasuk tentang bagaimana caranya berdiplomasi kepada orang tua ataupun saudara yang lebih tua, saya menjadi tahu bagaimana caranya mensiasati ketika sedang semangat dan asik-asiknya merenovasi rumah, namun ternyata bahan baku sudah habis ditengah jalan.

Baru sebentar duduk, Bu Nafi datang kembali. Beliau keluar sudah membawa tas dan buku kunjungan. Mungkin beliau sudah hafal, ketika diruang piket saya tidak ada, berarti ada di halaman depan. Jadwal kunjungan atau home visit akhirnya diajukan, karena Pak Rahmat selaku wali kelas 9D mendapat laporan bahwa tadi pagi ada beberapa anak yang melihat Rizky berada di sekolah. Selain itu, pesan WhatsApp beliau kepada orang tuanya sudah dibalas, memberitahukan bahwa saat ini Rizky berada dirumah. Merasa kecolongan karena ada salah satu siswanya yang berhasil membolos, maka sebagai guru yang tidak suka menunda-nunda pekerjaan, Bu Nafi menyeret saya untuk segera meluncur kerumah sang tersangka.

Berkat ancer-ancer yang diberikan oleh salah seorang siswa, akhirnya kami berhasil menemukan rumahnya. Letaknya tidak begitu jauh dari sekolah, setelah melewati dua kali lampu merah, ada gapura sebagai penanda. Nampak aktivitas masak-memasak oleh beberapa ibu-ibu warga setempat, namun rupanya hanya sang empunya rumah saja yang hendak memasak, ibu-ibu tetangga sekitar gatal untuk mendekat. Ngerumpi, rasan-rasan, dan saling tukar informasi ter-update. Khas pemandangan tengah perkotaan. Seorang nenek yang sedang mengiris bawang segera menaruh pisaunya ketika mendengar kami mengucapkan salam. Walaupun harus berdiri menunggu sebentar, kamipun dipersilahkan masuk, karena meja dan kursi yang ada banyak digunakan untuk menaruh tumpukan pakaian yang habis dijemur. Kami memaklumi saja, dengan penghuni yang terdiri dari kakek-nenek, ayah-ibu dan dua orang anak yang salah satunya adalah siswa kami tersebut, kondisi rumah yang berantakan seperti ini tentu saja tidak bisa dihindari.

Sebagai seorang junior yang tahu diri, saya pun hanya duduk manis dan membiarkan saja Bu Nafi menyampaikan maksud dan tujuan kami datang kesini. Namun belum genap beliau bertanya alasan mengapa Rizky tidak masuk hari ini, rupanya dengan cepat Ibu Rizky menyadari bahwasannya telah dibohongi. Maka dipanggillah Rizky yang berada dikamar atas, mencoba memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Dan ternyata benar, setelah pagi tadi diantar sampai ke sekolah oleh kakeknya, dia pun mengaku kemudian melipir keluar melalui pintu belakang. Setelah sekiranya cukup duduk-duduk dan jajan disebuah burjoan yang berada di sekitaran sekolah, barulah kemudian ia pulang kerumah. Ia mengatakan karena sedang ada kegiatan lomba antar sekolah, maka sekolah pulang lebih awal. Ibu, kakek dan neneknya satu-persatu menyampaikan kekecewaannya. Satu-satunya anak laki-laki yang diharapkan kelak menjadi kebanggan keluarga, secara berjamaah ketahuan membohongi.

Ayah Rizky yang baru saja mulai tidur istirahat karena habis jaga malam, mendengar ada sedikit keributan dibawah akhirnya terbangun, turun dan menghampiri. Setelah tahu anak lelakinya membolos dari sekolah, beliaupun langsung muntap emosi meneriaki dan memarahinya keras-keras. Tidak cukup sampai disitu saja, sebuah potongan kayu triplek yang asal ia temukan disampingnya, diambil dan digunakannya untuk mencoba memukuli Rizky. Ibu Nafi yang berada tepat disampingnya, sontak merangkul dan melindungi kepala Rizky dengan tangannya. Saya berusaha menghalangi, namun ayahnya terus mengejar dan memukuli. Percobaan pertama ini mengakibatkan tangan Bu Nafi yang melindungi kepala Rizky sekali atau duakali terkena pukulan. Kakek, nenek dan ibu Rizky-pun sudah ikut berusaha menahan, memegangi dan menenenangkan ayahnya untuk mau sedikit lebih bersabar menahan emosi. Namun rupanya emosi ayahnya tersebut memang sangat susah dikendalikan, kali ini diambilnya sebuah kulit durian yang semalam mereka santap namun lupa belum dibuang. Saya ulangi sekali lagi, yang diambilnya adalah kulit durian. KULIT DURIAN Broo..!!!

Tidak hanya menghalangi, kali ini saya benar-benar menahan dan memegangi dengan kencang agar apa yang kita takutkan tidak sampai terjadi. Nenek Rizky-pun sampai menjerit, dan ibunya berlari mengundang salah seorang tetangga hingga akhirnya kami berhasil menariknya keluar rumah. Setelah situasi agak mereda, kamipun segera berpamitan untuk kembali ke sekolah. Diperjalanan keluar menuju motor, Ibu Nafi mengibas-ibaskan tangannya karena perih tadi sempat terkena pukulan. Saya sendiri masih memasang muka kaku karena tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Saking panik dan chaos-nya situasi, saya sampai lupa menanyakan satu pertanyaan penting; kenapa setiap hari rabu dia selalu membolos?? Ada apa dengan hari rabu?? Sebuah misteri yang belum berhasil terpecahkan. Tapi biarlah, untuk sementara saya sedang tidak mau ambil pusing.

 *****
Tiba dirumah mendapati saya tidak jadi pulang sore, istri saya pun bertanya;

“Loh, mas katanya pulang terlambat?”
“Ora sido, dik.” (Tidak jadi, dik) jawab saya
“Yowis.. Ayo langsung berangkat!”
“Misal sesuk wae piye?" jawab saya lagi. "aku wis mendem kulit duren kie..”

Sumber Photo : http://www.straitstimes.com/singapore/durian-hunters

Komentar