Secangkir Kopi Dingin dan Renungan Kepada yang Sudah-sudah




Bukanlah Fajar kalau hidup hanyalah sekadar untuk mencari makan. Kalau dia bersusah payah mencari alamat pemesan ojek ataupun rela menombok-i ketika ada pesanan go-food, dilakukan hanya sekadar untuk mencari makan saja, alangkah ruginya. Hal demikian cukup dilakukan oleh seekor ayam. Bukankah sambil mengendara motor, seseorang bisa merenungkan suatu hal, bisa berdzikir, bisa mengamati macam-macam manusia, bisa belajar kepada sebegitu banyak peristiwa, bisa menemukan hikmah-hikmah, pelajaran, dan kearifan yang membuat hidupnya semakin maju dan baik.

Hal itu selalu terjadi dengan begitu saja pada Fajar. Bahkan, dia biasa melakukan perenungan tentang nasib bangsa, suhu politik yang kian memanas, sampai memikirkan isu konspirasi global sambil memeluk istrinya yang sedang marah karena tidak pernah lagi diajak jalan-jalan naik motor seperti dulu ketika masih pacaran. Pelukan cukup dapat menjelaskan semua, pikirnya. Seiring bertambahnya usia perkawinan mereka, Fajar semakin sadar bahwa cara untuk meredam pertengkaran, tidak perlu lagi berbusa-busa menjelaskan dan menerangkan layaknya para mahasiswa yang dengan bangga mengumumkan ideologi sosialis, komunis ataupun “kekiri-kirian” yang dianutnya, padahal sesungguhnya dia tak mengerti barang sehelai benang pun.

Sebagai muslim dan pekerja yang aslinya tidak rajin-rajin amat, pagi itu bakda shalat subuh ia sebenarnya hendak memanasi dan mengelap-elap motor agar tetap tampil prima. Namun melihat kopi dingin yang kemarin belum sempat ia selesaikan, membuat ia tinggal sejenak di kursi teras kemudian menyeruput setengah teguk. Pelan-pelan, sedikit-sedikit, sama seperti biasa ia minum kopi yang baru diseduh. Manis ataupun pahit, hangat ataupun dingin, tidak ada yang berbeda dengan caranya menikmati dan memperlakukan kopi.

Sebagai peminum kopi kategori berat, tentu saja ia hafal kapan waktu terbaik untuk menikmatinya. Biasanya sore, ketika ia pulang kerumah dengan perasaan cukup. Ia tidak pernah ngopi saat istirahat di warung ataupun ketika berkumpul bersama teman-temannya sesama tukang ojek online. Fajar lebih memilih menyimpannya untuk nanti dirumah, sehingga ia dapat menikmatinya dengan tuntas, tidak diganggu oleh order yang tiba-tiba datang padahal kopi sedang nikmat-nikmatnya, perasaan sedang sayang-sayangnya.

Terakhir kali kejadian serupa (meminum kopi dingin) adalah sekitar tiga bulan yang lalu, ketika Fajar sedang asik-asiknya ngopi di belakang rumah, tiba-tiba rumahnya digedor dan ia diseret ke kantor polisi. Ia terciduk karena diduga melakukan ujaran kebencian dan menyebarkan berita-berita hoax. Walaupun kemudian setelah semalaman dikurung, paginya ia dipulangkan. Ternyata Pak Polisi salah tangkap. Hingga saat tiba dirumah barulah ia dapat menamatkan kopinya yang sudah mendingin.

Sambil membetulkan posisi duduk, tipis-tipis ia seruput lagi kopi dingin keduanya tersebut. Bedanya dengan kejadian pertama, ia tidak lagi minum dengan perasaan jengkel. Lebih kepada takjub. Andai kemarin ia tak ambil order tersebut, mungkin hanya akan berlalu begitu saja, sama seperti lamunan-lamunan dan penghayatan Fajar yang sudah-sudah.

Sore itu, motor sudah di garasi, Fajar sudah mandi, dan kopi masih mengebul. Tetangga resek yang biasa datang mengganggu pun sore itu tidak nampak batang hidungnya. Seakan semesta mendukung. Dengan kondisi sesyahdu itu tidak pernah sekalipun order yang masuk akan ia ambil. Namun sore itu seperti menjadi pengecualian. Serius ia pandangi notifikasi yang masuk melalui telepon pintarnya, sejenak ia berpikir, antara ambil atau tidak, bimbang, seperti seorang gadis paruh baya yang mendadak dilamar oleh seorang pria yang tak begitu ia kenal, satu sisi umurnya sudah memasuki kepala tiga, dan di lain sisi pria yang melamarnya tersebut bukanlah orang yang ia cinta.

Sesuatu yang membuat Fajar bimbang adalah tempat atau tujuan order tersebut menunjuk ke sebuah rumah sakit. Ia rasa sayang sekali kopi yang baru saja diseduh jika harus ditinggal, namun seseorang yang berada di ujung-sana, di-ujung-garis-koneksi-yang-sama dengan handphone Fajar ini, pasti sedang dalam keadaan darurat. Ia pikir mana ada orang yang berani iseng membuat order fiktif dengan tujuan rumah sakit, atau anak gaul mana yang sore-sore begini pingin nongkrong di sekitar orang-orang yang memakai infus. Fajar yakin, saat ini orang tersebut sedang dalam kesusahan dan sangat membutuhkan bantuan. Dengan mengucap Basmallah dalam hati, akhirnya ia ambil order tersebut. Panjang ia hirup aroma kopi sebelum ia lakukan sruputan terakhir, tak lupa ia kecup satu kali kening cangkirnya sebagai salam perpisahan. Padahal dengan istrinya saja biasa ia cukup cium tangan.

Fajar sembarang saja menarik jaket seragam yang tercantel di paku, sehingga sobekan kecil dibawah kerah kini semakin menganga. Ia keluarkan lagi motor yang sudah terparkir dalam garasi, tak lupa ia kenakan helm sampai bunyi “klik”, tanda gesper dagu sudah terpasang dengan baik, persis seperti anjuran Pak Polisi. Kemudian ia starter motornya dan bergegas meluncur menuju TKP.

Dengan semangat dan kemantapannya untuk menolong orang tersebut, sekilas Fajar nampak seperti Bruce Wayne yang berubah menjadi Batman setelah mendapat kode darurat berupa lampu sorot bergambar kelelawar dari warga Gotham City.

Hingga saat ia tiba di lokasi, nampak seorang ibu yang sedang sibuk menelepon sambil menggendong seorang anak dengan selembar kain jarik. Tidak ada suara tangisan ataupun rengekan-rengekan layaknya anak yang sedang sakit, namun, justru yang membuat situasi menjadi terasa semakin mengoyak-oyak hati, adalah anak yang berada dalam gendongan tersebut nampak diam tidak berdaya dengan wajah agak putih pucat pasi.

Fajar dengan sabar menunggu saja sampai ibu tersebut selesai menelepon. Jarak antara Fajar dan ibu itu sebenarnya tidaklah begitu jauh, kira-kira satu lompatan seorang siswa yang sedang ujian praktik olahraga. Mungkin karena saking seriusnya membuat ibu tersebut tidak sadar dengan kehadiran Fajar didekatnya. Satu dua kali terdengar ibu itu menyebutkan nominal-nominal angka dalam perbincangannya, mungkin sedang berusaha mencari pinjaman uang dari sanak dan saudara. Sampai sejauh ini Fajar semakin yakin, analisanya terbukti betul, ibu dan anak tersebut sangat membutuhkan bantuan.

Tidak sia-sia puasa senin-kamis Fajar selama ini, ia menjadi terlatih untuk dapat bersikap ‘tidak’ pada sesuatu yang sebenarnya ia diperbolehkan untuk bersikap ‘iya’. Jika pun itu ia lakukan, sama sekali tidak melanggar aturan. Syah-syah saja. Ia mengambil order tersebut dan mempuasai segala nikmat yang ada di depan mata.
Tanpa banyak babibu, selesai menelepon ibu tersebut langsung naik di jok belakang dan meminta Fajar segera mengantarnya ke rumah sakit. Sepanjang separuh perjalanan tidak ada satupun obrolan yang keluar dari kedua belah pihak. Ibu tersebut larut dalam kegelisahannya, sedangkan Fajar terlampau bingung akan berkata apa, takut-takut salah ngomong dan malah membuat penumpangnya semakin bersedih.

Ada dua toko roti sepanjang rute yang dilewati untuk sampai di rumah sakit. Dua toko tersebut saling berdekatan, tapi tidak satu. Artinya walau kedua toko tersebut berdampingan tapi nampak jelas bukanlah satu toko yang sama. Toko pertama berwujud bangunan sederhana. Sebuah kios kecil dengan halaman parkir terbuka namun ter-atapi seluruhnya. Dan di depan toko roti yang kedua Fajar beserta penumpangnya berhenti. Mereka terpaksa berteduh disana karena diluar hujan deras sekali. Sepanjang musim belum pernah sederas ini. Hanya ada Fajar, ibu dan anaknya tersebut yang berteduh disana. Para pengendara lain yang sama-sama terjebak hujan lebih memilih membelokkan motornya di toko pertama. Bangunan megah nan tinggi gagah, dengan dua pilar besar menjulang, dan dihiasi ornamen-ornamen khas kerajaan romawi kuno pada toko roti kedua tersebut, mungkin sudah cukup membuat orang-orang segan untuk sekedar numpang berteduh menunggu hujan reda.

Tiba-tiba anak yang sebelumnya anteng-anteng saja berada dalam gendongan ibu itu menangis dan menjerit keras-keras, seakan tidak mau kalah saing dengan suara hujan deras yang menerpa atap seng di toko pertama. Mendengar suara tangis yang tidak biasa di tokonya, kebetulan sang pemilik yang sedang berada di dekat meja kasir, karena penasaran kemudian keluar dan menghampirinya. Betapa terperanjatnya sang pemilik toko, melihat ibu yang menggendong anak tersebut adalah sosok yang ia kenal. Bahkan baginya beliau adalah seseorang yang sangat ia hormati dan kagumi.

“Ya Allah, Bu Asih..”
 Ia raih tangannya, bersalaman dan diciuminya dengan tulus punggung telapak tangan ibu itu beberapa kali. Tidak ada yang berubah dengan caranya menghormati. Masih sama seperti ketika ia dulu masih menjadi muridnya di sekolah.
“Kenapa ini anaknya?”
Tanyanya cepat, tanpa memberikan sedikitpun ruang untuk ibu itu merespon panggilannya.
“Sakit, mau saya bawa ke Ludiro Husodo.”
Jawab ibu itu dengan menyebutkan nama rumah sakit tempat yang akan kami datangi.
“Ya sudah saya antar sekarang.”
Tanpa menunggu persetujuan yang bersangkutan ia langsung saja memanggil sopirnya. Seakan ia paham betul, dengan kondisi seperti itu tentu bukan waktu yang tepat untuk sekedar basa-basi.

Mereka bertemu kembali di rumah sakit. Awalnya mungkin karena terkesan mengejar, mereka mengira Fajar yang datang menyusul kesana untuk menagih ongkos ojeknya. Jelas saja langsung ia tolak, memang sudah sedari awal ia niatkan untuk tidak akan menerima. Ia menyusul kesana karena tas milik ibu itu tertinggal di motornya. Sambi menunggu penanganan dari dokter, mereka mengobrol di ruang tunggu. Dari situlah akhirnya Fajar mengetahui hubungan antara ketiganya. Seorang tukang ojek online yang mengantar penumpangnya, bertemu dengan pemilik toko yang dulu pernah menjadi murid penumpangnya.

Sang pemilik toko roti itu bercerita, bahwa dulu ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Sedari kecil ayahnya sudah meninggal dan untuk membiayai kehidupan sehari-hari ibunya bekerja di toko roti pertama. Toko roti kecil yang masih ada sampai sekarang dan berada tepat di samping tokonya yang besar. Atas kegigihan, usaha pantang menyerah, keinginan untuk terus belajar dan laku hidup prihatin yang dijalaninya akhirnya sekarang ia bisa menjadi sukses seperti sekarang ini. Ia pun menyampaikan, saat masa-masa sulit, salah seorang yang berjasa membimbing, menasehati dan menyemangatinya agar tetap terus optimis salah satunya adalah Ibu Asih, Ibu Gurunya semasa sekolah. Ia ingat betul satu nasehat yang disampaikannya; “Cintailah Proses”. Dua kata sederhana yang hingga kini masih menjadi pedoman hidupnya.

Entah bagaimana ceritanya kemudian sekarang toko kecil itu menjadi miliknya, dan atas permintaan ibunya sengaja ia pertahankan seperti aslinya. Mungkin agar tidak menjadi pribadi yang sombong dan dapat terus mengingat darimana mereka berasal. Kali ini analisa Fajar meleset, dua toko yang nampak berbeda itu ternyata satu pemilik.

Sementara anak yang sedang dalam kondisi sakit tersebut bukanlah anak kandungnya, ungkap ibu Asih. Dia adalah anak dari salah satu family yang dititipkan kepadanya. Akibat salah pergaulan, ibunya hamil diluar nikah. Laki-laki yang menghamili tidak mau bertanggung-jawab, dan ibu kandungnya malu kemudian tidak mau mengurus. Akhirnya sampailah di tangan Ibu Asih, dirawatnyalah seperti anak sendiri. Pantas saja Fajar merasa seperti ada yang janggal, bagaimana mungkin seseorang yang sudah berumur kurang lebih sama dengan orang tuanya, masih mempunyai anak yang masih balita.

Diluar hujan sudah hilang, para petugas medis mulai capek berlalu-lalang, dan adzan maghrib sudah sekitar setengah jam yang lalu berkumandang. Fajar ijin pamit hendak shalat sekaligus pulang.

Sesampai di rumah, seperti biasa ia disambut oleh istrinya dengan muka cemberut. Ini tanda ada tugas yang belum dikerjakan. Fajar keluar lagi membeli bakso sebagai alat permintaan maaf, lanjut ia setrika semua baju yang sudah tinggi menggunung. Semenjak istrinya hamil, memang beberapa pekerjaan rumah tangga ia ambil alih. Hingga akhirnya, karena saking capeknya ia kemudian tidur dan terbangun kembali di subuh hari, setelah selesai mengerjakan shalat barulah ia lihat ada kopi dingin yang kemarin belum sempat ia tamatkan.


Sumber Photo : https://www.minumkopi.com/warung-kopi-mak-pik-di-ambulu/

Komentar