Sejak pemerintah secara resmi mengumumkan pasien positif
covid-19 pertamanya, sampai hari ini pun, masih banyak orang yang secara gencar
membagikan tips tentang berbagai macam cara menanganinya. Pakai masker-lah,
jaga jarak, cuci tangan, dan seterusnya. Hingga masing-masing dari kita lulus
menjadi ahli corona tanpa perlu wisuda. Anjuran-anjuran tersebut masih terus
ada mungkin agar kita tidak lalai dan tetap waspada. Namun dari sekian banyak
ajakan itu, sebagian besar menempatkan do’a di point terakhir. Kadang malah
tidak ada.
Seakan doa dianggap hanya sebagai pelengkap semata. Sepele, seperti sejimpit
bawang goreng yang ditabur di atas nasi uduk. Padahal doa adalah tempat menaruh
segala daya, upaya, dan usaha agar tidak ambyarrr kemana-mana.
Melalui doa, manusia menegaskan bahwa dirinya hanyalah hamba yang lemah.
Mahkluk yang tidak boleh menyombongkan diri sedikit pun. Sebab di depan
makhluk-Nya yang lain, yang berukuran 150 nanometer saja sudah tunggang-langgang
dibuatnya. Dengan terus berdoa, artinya kita menyertakan Tuhan dalam setiap
langkah. Menjadikan Tuhan sebagai penolong utama, serta satu-satunya Dzat yang
mampu menuntun manusia agar terhindar dan terlindungi dari hal yang
tidak-tidak.
***
Saya selalu ingat penjelasan Caknun tentang bagaimana Tuhan
mengatur sedemikian detail kehidupan manusia. Baik itu berupa rahmat, rejeki,
keselamatan, dan banyak sekali yang lain. Tidak terhingga.
Caknun mencontohkan dengan salah satu bentuk profesi yaitu sopir taksi. Waktu
itu belum online. Jadi selain mangkal di suatu tempat, ada juga yang yang
mencari penumpang dengan cara berkeliling. Berjalan pelan mengitari setiap ruas
jalanan kota, berharap ada satu atau dua point yang nyantol dari sana.
Tentu mereka tidak bisa meramalkan kapan kira-kira penumpang
akan datang. Seandainya mobil yang mereka kemudikan melintas beberapa detik
lebih cepat, atau ternyata penumpang keluar dari gang 1 detik lebih lambat,
sehingga yang dipanggil adalah taksi berikutnya, menurut kalian, siapakah yang
mengatur adegan itu? Kemudian apa makna pengaturan itu?
Dalam situasi dan kejadian-kejadian hari ini, di mana si-corona ini dapat
hinggap di mana pun dan pada siapa pun, dengan logika dan kesadaran yang sama;
doa mengambil peran utamanya sebagai penghantar hajat kepada Tuhan agar kita selalu
dalam lindungan-Nya.
Misal begini, ada seorang positif corona karena ia tidak tahu bahwa dirinya merupakan
carrier, bebas berkeliaran ke mana-mana. Ia ke mini market, ke masjid, jajan
bakso, atau pergi kemanapun yang ia suka. Pada suatu ketika, secara tidak sadar
ia memegang sebuah gagang pintu. Tangannya sudah berulang kali ia gunakan untuk
memencet hidung dan menutup mulut ketika batuk.
Tidak lama kemudian, karena ada sebuah urusan kita terpaksa perlu masuk dalam ruangan
yang sama; yang gagang pintunya sudah tertempeli virus tersebut. Namun
tiba-tiba ponsel berdering, entah ada angin apa, dari kejauhan salah seorang sahabat
yang sudah lama tidak jumpa, iseng menanyakan kabar. Katanya ia kangen, ingin mendengar
suara kita yang merdu.
Karena saking asiknya, ngobrol ngalur-ngidul, saling haha-hehe menceritakan
kebodohan di masa yang lalu, sampai-sampai lupa tadi mau apa. Kemudian tidak
jadi masuk. Seperti kesirep, jalan
begitu saja, berlalu pergi, kemudian pulang ke rumah. Kamu pernah begitu?
Secara tidak sadar, dengan telepon yang sebenarnya tidak
penting-penting amat itu, kita terselamatkan. Tidak jadi terpapar virus yang berbahaya.
Hanya saja karena saking halusnya Tuhan merancang skenario untuk menolong, kita
menjadi luput dan menganggap itu hal biasa saja.
***
Kini, ketika masa pandemi sudah sekian bulan berlalu, dan
atas segala usaha yang telah kita kerahkan untuk menumpasnya, rasa-rasanya sudah
tidak sabar untuk segera berteriak horeee..! sebagai tanda kemenangan karena mendengar
kabar semua pasien sudah dinyatakan negatif. Namun kenyataan sepertinya berkata
lain. Kita belum diijinkan untuk itu. Kita masih perlu banyak-banyak bersabar. Jangankan
curva penambahan pasien yang melandai, stagnan saja belum.
Sebenarnya, mengapa masalah ini seakan tidak
selesai-selesai. Padahal, mayoritas masyarakat sudah tertib. Sudah mencoba menerapkan
kehidupan new normal dalam kesehariannya. Selalu memakai masker, sering mencuci
atau menyemprot hand sanitizer di tangannya, dan mematuhi semua protokol
kesehatan yang dianjurkan pemerintah. Apakah karena do’a kita tempatkan di
bagian akhir? Kalau sudah kepepet? Wallahu’alam.
Tapi yang jelas, corona adalah masalah yang berat. Jelas,
ini bukan lawan yang sebanding bagi manusia. Sebab sebagai musuh ia nyata adanya,
sangat trengginas, namun tidak terlihat oleh kita dengan mata telanjang. Amerika
yang merupakan negara adidaya saja mengaku kalah. Angka positif di sana mencapai
jutaan dan ratusan ribu korban meninggal dunia. Perekonomian morat-marit, chaos
di sana-sini.
Jangan sampai kita juga kalah. Sudah cukup rasanya melihat
orang-orang di sekitar kita kehilangan pekerjaan. Sakit rasanya.
Maka, kita harus bersungguh-sungguh menghentikan semua ini.
Satu-satunya cara melawan agar ia K.O dan pandemi ini cepat selesai, adalah
dengan mengundang langsung penciptanya. Selama ini Dia selalu ada tapi mungkin tidak pernah kita ajak atau sekedar sapa. Mari
kita undang bersama-sama; do’akan secara beramai-ramai. Sebut corona dalam
setiap do’a. Mintalah kepada Tuhan untuk segera mengusirnya. Do’akan
terus-menerus. Sampai capek, sampai terkantuk-kantuk, sampai Tuhan merasa tidak
enak sendiri kalau tidak mengabulkan hajat kita bersama ini.
Komentar
Posting Komentar